Onde-onde Kehidupan

Senja tak lagi tampak seperti  jingga. Bongkahan awan kelabu yang nyaris gelap, seolah tak tahan lagi menyimpan buliran air langit yang mulai merintik. Hembusan angin kencang disertai kilat, seakan ingin menghadirkan sebuah pertunjukan teater yang penuh teka-teki. Welcome Januari. Inilah sapa alam yang mengisyaratkan awal dari sebuah perjalanan satu tahun ke depan.
Ya, sebuah perjalanan sore yang dilalui sosok mungil dengan guratan tekad yang menyelimuti wajahnya. Bias kilat sesekali memperjelas sorot matanya yang bulat, hampir tak lepas dari setiap pengunjung yang hendak keluar dan masuk minimarket. Senyum ramahnya tak sedikitpun menorehkan lelah, meskipun sebagian  wajahnya mulai basah terkena air hujan. Sebuah jas hujan berbahan plastik tipis berwarna kuning yang dipakainya, berhasil melindungi seluruh tubuh mungilnya dari air hujan. Sosok mungil itu tampak jelas masih usia anak-anak dibawah umur, Dimas namanya.

Kehadiran bocah yang masih duduk di bangku kelas 6 SD ini kerap kali dinantikan oleh beberapa karyawan minimarket. Lebih jelasnya lagi, kehadiran kue onde-onde yang dijual oleh  Dimas disetiap sore, mampu menjadi magnet bagi perut yang mulai mengeluarkan sinyal untuk segera diisi. Harganya cukup murah, seribu rupiah saja dengan ukuran yang lumayan untuk mengganjal  lambung sebagai intermezo menunggu waktu untuk makan malam.
Keranjang yang penuh dengan  jajanan khas daerah Mojokerto ini, ia letakkan di boncengan sepeda ontel kesayangannya. Sebagai pelindung dari air hujan, Dimas menutupkan selembar plastik yang kedua sudutnya terikat di sela-sela keranjang.
“Le, aku onde-onde telu wae yoh” (“Dek, saya mau onde-onde tiga saja yah”) pinta salah seorang karyawan minimarket.
“Nggih mbak, mboten kirang nopo” (“Iya mbak, apakah tidak kurang?”) celoteh Dimas sembari mengambil kue onde-onde menggunakan capit, kemudian memasukkannya ke dalam kantong plastik transparan.
“Ora Le, aku isek diet iki, mulakno jajan e sitik wae” (Enggak Dek, saya masih diet, makanya jajannya sedikit saja”) Jawab mbak-mbak karyawan.
Dimas hanya tersenyum memamerkan lesung pipit yang menggemaskan, sembari mengantongi satu lembar uang nominal dua ribuan dan satu koin seribuan. “Alhamdulillah” ucapnya lirih.

Kue onde-onde buatan ibu Dimas memanglah berbeda dengan onde-onde pada umumnya. Bedanya jelas terlihat dari penampakaan warnanya, yakni  berwarna ungu gelap, namun tetap konsisten dengan ratusan biji wijen yang menempel erat sebagai ciri khas dari kue tradisional ini. Selain itu, sebagai bahan utama, ibunya mencampurkan ubi ungu untuk mensiasati melambungnya harga tepung beras ketan. Alhasil, terciptalah kue onde-onde ungu dengan ukuran yang cukup mengenyangkan perut tapi tetap ramah di kantong.

Kue onde-onde memang banyak dijumpai di kota Mojokerto ini. Harga yang ditawarkan pun bisa dua kali lipat dari onde-onde buatan ibu Dimas. Kue yang menjadi salah satu icon kota Mojokerto ini, awalnya berasal dari Negeri Tirai Bambu. Kemudian di bawa ke Indonesia pada masa Kerajaan Majapahit oleh seorang laksamana dari Negeri  Tiongkok yang saat itu sedang melakukan kunjungan ke Kerajaan Majapahit. Hingga akhirnya makanan ini sering disajikan sebagai menu jajanan di istana dan mulai berkembang di masyarakat Majapahit pada masa itu.
Kue onde-onde yang dibawa oleh Laksamana Tiongkok, awalnya berbeda dengan onde-onde yang ada di Indonesia pada saat ini. Awalnya onde-onde tersebut hanya berisikan pasta gula merah yang rasanya manis. Namun, seiring berjalannya waktu di Indonesia akhirnya kue yang berbentuk bulat ini mengalami proses modifikasi dengan penambahan kacang hijau, sehingga memiliki rasa yang sedikit lebih gurih dan cocok dengan lidah orang Indonesia.

Sore itu tak banyak kue onde-onde yang dibawa oleh Dimas. Terhitung ada lima puluh buah onde-onde yang tersusun rapi di keranjang yang diboncengnya. Meski masih terlihat ada beberapa onde-onde yang enggan berpindah tempat dari keranjang nyamannya, Dimas harus bergegas untuk memutar sepeda ontel-nya, menuju sebuah mushola yang letaknya ada di seberang jalan, tepat di depan minimarket.
Suara adzan magrib menggema bersahutan di bumi Mojokerto. Sebuah isyarat dari Allah kepada penduduk bumi  untuk mengambil jeda dari bekal fana, menuju bekal yang sesungguhnya. Meskipun tak sedikit juga para hamba yang  sengaja menjatuhkan pilihannya ke fana yang melenakan. 

Dimas mengarahkan sepeda ontel-nya menuju teras yang cukup untuk menampung  beberapa motor dan sepeda ontel, tapi tidak berlaku untuk mobil karena sudah pasti mobil pun tak akan muat untuk memasuki pagar mushala yang sudah didesign untuk kendaraan roda dua.   Persis di depan teras yang sejajar dengan kamar kecil dan tempat wudhu. Tepat di samping kamar kecil inilah, Dimas memarkir sepeda ontelnya dan melepas jas hujan plastik yang masih ia kenakan, meskipun anak-anak hujan sudah mulai lembut menyapa.
Selepas menunaikan salat maghrib, ia kembali menuju ke tempat sepedanya yang tadi ia parkir, kemudian bergegas pulang ke rumah, meski belum semua dagangannya laku terjual. Beberapa saat kemudian , Dimas sudah berada di jalan raya Benteng Pancasila, berbaur dengan beberapa pengayuh sepeda lainnya, meskipun tak sebanyak pengguna kendaraan bermotor. Para pengayuh sepeda ini memiliki tujuan yang berbeda, walaupun arah mereka sama yakni menuju timur. Mereka mengayuh sepeda dari ratusan meter hingga berkilo-kilo meter dari barat menuju timur, beradu cepat dengan bias lampu penerangan jalan, berpapasan dengan kendaraan pribadi dan pengendara motor untuk sebuah tujuan yakni pulang ke rumah dan berkumpul bersama keluarga.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, Dimas sudah memasukkan sepeda ontelnya ke dalam rumah sederhana yang separo dindingnya diperkuat dengan gedek (anyaman bambu). Atapnya berbahan asbes tanpa lapisan langit-langit. Jika siang hari di musim kemarau, maka akan terasa sekali panas menyengatnya.
Dimas memiliki satu saudara perempuan yang masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Sepeninggal Bapaknya dua tahun silam, Ibunya mencukupi semua kebutuhan sehari-hari dengan membuat kue onde-onde yang dijualnnya di pasar yang berlokasi tak jauh dari rumahnya, di pagi hari. Sedangkan di sore harinya, sang ibu menjual kue onde-onde di sekitar jalan raya Benteng Pancasila yang saat ini sudah diambil alih oleh Dimas untuk berjualan menggantikan ibunya. Awalnya sang ibu melarang Dimas untuk menbantunya, tapi karena desakan dan semangat dari anaknya itu akhirnya ibunya pun menyerah dan mengizinkan anak sulungnya itu untuk belajar berbisnis di usia dini.

Roda kehidupan di rumah sederhana itu sudah dimulai dari menjelang subuh tadi. Seorang ibu dengan dua orang anak. Satu lelaki tiga belas tahun dan si bungsu, perempuan delapan tahun. Dimas mematikan lampu belajar yang bertengger dia atas meja yang terbuat dari kayu jati lawas. Menurut cerita ibunya, meja belajar yang kini tengah dipakai olehnya merupakan meja turun temurun dari nenek. Ia mulai memasukkan beberapa buku pelajaran ke dalam tas berbahan kanvas yang tak lagi jelas warnanya. Kemudian ia pun beranjak menuju dapur yang terasa hangat oleh asap dari kue onde-onde yang berbaris rapi di atas tampah yang berbahan dari anyaman bambu muda. Kedua tangannya ditarik ke atas dengan gerakan peregangan otot seperti pemanasan dalam Senam Kesegaran Jasmani (SKJ). Lalu ia menggoyang-goyangkan badannya ke kiri dan ke kanan, lalu ciyat …! Dengan cekatannya ia menyambar kue onde-onde hangat. Tahu-tahu, mulutnya sudah mengggigit kue bulat nan lezat itu.
“Dimas!’
Ada suara kesal dan marah.
Tanpa menoleh ke sumber suara, Dimas berlari kecil sembari melompat-lompat menuju pintu depan untuk menyambut sinar pertama matahari yang menerangi bumi.
Diantara rumah-rumah penduduk desa Bejijong, rumah ini terlihat sederhana dan biasa saja. Cukup memenuhi syarat untuk tempat tinggal keluarga yang kehilangan seorang kepala rumah tangga.

Halaman depan rumah cukup sempit tapi rindang oleh beberapa pohon cabe yang terlihat mulai meninggi dan lebat. Dipinggir sepanjang pagar namun masih di dalamnya, berjajar pot-pot dari tanah liat yang ditumbuhi oleh beberapa jenis bunga cantik. Mawar bertatapan dengan melati. Si elok bougenville asik berceloteh dengan si cantik pacar air.
Andai saja mereka memiliki lidah dan berpita suara, mungkin Nissa akan mendengarkan nyanyian mereka. “Wahai gadis yang selalu memercikkan air ke tubuhku, terima kasih atas kasih sayangmu pada kami.”
Nissa menegakkan punggungnya. Dan berangsur memutar badan hendak memasuki rumah. Di depan pintu , ia mendapati kakakya sedang asik menghabiskan kue onde-onde yang baru tadi di comot dari dapur.
“Adikku memang hebat, pagi-pagi sudah ngasih minum semua tanaman.” Canda Dimas sembari mengunyah kue onde-onde yang mulai lembut di dalam mulutnya.
“Hem, Mas Dimas juga baik. Tapi lebih baik lagi jika tidak membuat ibuk berteriak jengkel karena ada tangan jahil mencomot onde-onde dari dapur.”
Dimas tersipu. Faktanya sudah berulang kali adiknya mengomentari ulah kecilnya itu. Namun, Dimas selalu saja tergoda begitu melihat bulatan hangat bertabur biji wijen yang menempel, serta aroma gurih manis terus-terusan menggelitik hidung kenakalannya. Apalagi sehabis belajar usai subuh, perut sudah seperti berteriak ingin segera diisi.

Nissa menuang air ke dalam gelas. Lalu, ia meneguknya pelan-pelan sampai habis. Dimas mengisyaratkan untuk meminta tuangan kedua.  Nissa menatap erat kakaknya itu. Di mata Nissa, Dimas adalah sosok kakak yang tumbuh menjadi dewasa ketika usianya masih begitu muda. Keluarga dan roda kehidupan membentuk Dimas menjadi anak yang berbeda di usianya. Ia juga tidak kehilangan masa bermain, tetapi apa yang Dimas mainkan, pikirkan, dan rasakan melampaui anak-anak lain.
Sedangkan dimata Dimas, adiknya adalah harta terindah yang diberikan Tuhan kepadanya setelah sang ibu tentunya. Pernah suatu pagi, setelah beberapa hari Nissa duduk di kelas tiga, ia mengutarakan ingin membawa onde-onde ke sekolah. Dimas mengambil kantung plastik bening dan memasukkan lima buah onde-onde ke dalamnya. Tak ada fikiran lain waktu itu, terkecuali onde-onde tersebut sebagai ganti uang jajan Nissa. Sepulang sekolah, Nissa menyerahkan lima lembar uang nominal seribuan  kepada ibunya. Sang ibu secara otomatis bertanya, darimana anaknya mendapatkan uang sebanyak itu. Jawaban polos Nissa berhasil menderaikan air mata perempuan paruh baya itu. Kue onde-onde yang dibawa Nissa, habis dijual kepada teman-temannya.

“Loh, kok  masih pada disini?”
Kakak beradik itu bebarengan menoleh ke arah sumber suara. Sang Ibu sudah tampak berdiri di ambang pintu tengah yang menghubungkan antara ruang tamu dan dapur. Sinar matahari pagi mulai menyentuh sebagian rambut panjangnya yang di gelung seperti kue donat di belakang tengkuk. Sorot matanya sangat lembut memancarkan kasih sayang yang tak pernah redup sedikit pun meski usia, waktu, dan roda kehidupan terus berjalan menggerus kenyataan. Tanpa suara sepatah kata pun, Dimas menggandeng adiknya masuk. Mereka berdua tau apa yang harus dilakukan selanjutnya. Nissa menuju kamar mandi. Dimas menyerbu dapur untuk memasukkan beberapa onde-onde ke dalam keranjang yang nantinya akan dijajakan ibunya ke pasar. Tak lupa juga ia sisihkan 10 buah onde-onde untuk dibawanya ke sekolah, karena kemarin ada beberapa teman satu kelasnya yang memesan kue bulat itu.

“Dek, teman kamu ada yang pesan onde-onde?” Tanya Dimas dengan suara sedikit keras karena adiknya masih berada di dalam kamar mandi.
“Ada tujuh Mas, tolong disiapkan.” Sahut Nissa yang diiringi suara gebyuran air.
Dimas sempat menengok ke depan, melihat ibunya menyapu ruang tamu sekaligus ruang keluarga, merangkap ruang belajar dirinya dan Nissa, kadang juga berfungsi sebagai ruang makan untuk menjamu tamu yang datang berkunjung.

Siti Fatimah, seorang ibu yang juga merangkap sebagai kepala rumah tangga usai sepeninggal suaminya. Matanya yang bercahaya dulu memang menjadi miliknya. Namun, itu sudah menjadi kenangan. Saat ini, cahaya mata itu telah menjadi milik anak-anaknya. Saat menatap Dimas, ia kembali melihat sosok almarhum Suaminya. Hidup bersama sang suami dulunya begitu indah. Rumah sederhana beratapkan cinta, berlantai kasih sayang, dan berkendara roda kenyamanan.
Tetapi, hidup juga berjalan menurut iramanya sendiri. Semua berubah, ia harus lekas bangun untuk melihat kenyataan dan menjalaninya.

Dimas sudah berangkat sekolah bersama adik kesayangannya. Mereka berdua menuntut ilmu di sekolah yang sama. Lokasinya tak jauh dari rumahnya, cukup dengan berjalan kaki saja menyusuri jalan desa selama kurang lebih sepuluh menit. Berjalan sembari bercengkerama menggoda sang adik, tak pernah luput dari rutinitasnya. Sesekali Nissa memoncongkan mulutnya sebagai ungkapan dari rasa kesal, tatkala candaan si kakak dirasa menyudutkannya. Tak jarang juga mereka berdua bertengkar meributkan hal-hal kecil yang tak penting bagi orang dewasa, tapi penting bagi anak-anak seusia mereka.
Pernah suatu ketika Nissa merasa malu kepada teman-teman sekelasnya karena ulah jahil kakaknya. Waktu itu, Dimas mengunyah permen karet dan membuat balon yang lumayan besar dari permen tersebut. Niatnya sih ingin pamer ke beberapa adik kelasnya. Tahu-tahu, balon karet itu menggelembung tak terkendali sampai pecah dan menempel seluruhnya ke rambut Nissa. Sontak terdengar tawa cekikikan dari beberapa adik kelas yang menyaksikan kejadian itu. Nissa pun panik bercampur malu karena ulah kakaknya itu membuat rambutnya lengkat dengan permen karet yang susah sekali untuk dibersihkan. Meskipun Dimas sudah membantu dan berkali-kali meminta maaf kepada Nissa, namun si pemilik wajah cuby menggemaskan ini tetap enggan untuk memaafkan kenakalan dari kakaknya. Bahkan sampai di rumah pun, Nissa masih ngambek pada kakaknya itu. Dan sampai mengharuskan sang ibu untuk turun tangan mendamaikan kakak beradik tersebut.

Sementara itu di dalam rumah sederhana mereka, Fatimah meluruhkan semua masalah yang menghimpitnya dalam sujud yang panjang. Empat rakaat sebelum memulai berjualan onde-onde di pasar. Ada sesuatu yang harus ia sembunyikan dari kedua anaknya. Air mata pun pecah mengiringi doanya. Sepeninggal suaminya, berbagai jalan melikuk bahkan jurang dan tebing mampu ia lewati meski harus merasakan luka dan pedih di sekujur badan. Masalah kali ini pun, Fatimah yakin bisa melewatinya dengan lancar. Selama ini ia hanya bermodal keyakinan dan doa-doa yang senantiasa dipanjatkannya setiap waktu. Yakin dan selalu yakin bahwa sejatinya Allah lebih pemurah dari siapa pun dan apa pun. Bahwa Allah tidak pernah lalai meninggalkan hamba-hamba-Nya.
Berjalannya waktu mampu untuk membuktikan kekuatan dalam diri Fatimah.

Berbagai pekerjaan pernah dilakoninya. Mulai dari berjualan kue onde-onde sampai pekerjaan sampingan yang harus ia sembunyikan dari kedua anaknya tersebut. Ia buang jauh-jauh rasa malu dan gengsi demi urusan dapur agar tetap bisa mengepul setiap hari. Demi kedua anaknya agar terus bisa bersekolah dan meraih cita-cita sesuai harapan mereka. Namun, masih  saja Fatimah belum bisa menceritakan pekerjaan sampingannya kepada kedua anaknya itu. Ia berfikir jika harus menceritakannya, ia khawatir kalau anaknya akan sedih dan tidak tega mendapati pekerjaan ibunya.

Hampir satu tahun ini, Fatimah telah mengeluarkan tenaga dan waktunya pada salah satu keluarga kaya yang tinggal di perumahan mewah , tiga kilometer dari rumahnya. Setiap hari senin sampai minggu usai berjualan onde-onde di pasar, Fatimah melakoni peran kehidupan sebagai pembantu rumah tangga. Semua pekerjaan rumah yang berkaitan dengan statusnya sebagai pembantu rumah tangga ia kerjakan dengan baik. Seperti inilah bentuk pekerjaan tanpa job description yang jelas. Nisbi kontrak. Dan tak ada jaminan hari tua. Sangat rawan PHK dengan dalil sesuai keinginan majikan. Seorang pembantu rumah tangga juga manusia yang memiliki hak dan kewajiban setara dengan majikan, tidak harus serta merta menghapus faham kolonialisme orang kaya yang selalu merasa di atas dan memiliki hak penuh menjajah orang-orang miskin. Meski sudah banyak lembaga sosial yang berteriak lantang menyuarakan hak asasi PRT. Tetap saja masih miris pemberitaan.  Tak perlu terkejut pula bahwa di negeri agamis timur sering terdengar kasus pembantu yang menjadi sasaran kemarahan dan obyek pelecehan seksual, atau masih banyak yang lebih menyeramkan lainnya.
Kira-kira lima belas menit sebelum Fatimah mengakiri jam kerjanya siang itu. Pikiran Fatimah sedang tidak pada tempatnya, entah bagaimana ceritannya ia lupa mencabut stop kontak setrika. Sialnya lagi, setrika tersebut masih berada diatas tumpukan blouse majikannya yang sudah terlipat rapi. Tak memerlukan waktu lama, gosong dan terbakarlah blouse tipis yang dinilai memiliki harga selangit itu. Aroma dari kain yang terbakar setrika itu sontak menarik indra penciuman seluruh penghuni rumah, tak terkecuali nyonya majikannya yang sudah memakai make up hendak pergi menggunakan blouse tersebut. Selanjutnya, tak perlulah dicertiakan lagi umpatan dan cacian nyonya majikan yang bisa dikatakan lebih horor dari sinetron berseri tiada akhir. Tapi kali ini bukan skenario sinetron majikan dan pembantu dalam layar kaca, melainkan live skenario dalam dunia nyata. Yang jelas, sombongnya setinggi langit tingkat tujuh, sangat tidak educated.

“Pokoknya, dalam sepuluh hari tidak bisa mengganti blouse kesayangku, tak ada gaji sepeserpun selama tiga bulan!” tandas nyonya majikan dengan ketusnya.
“Karena kamu sudah bekerja dengan baik di rumahku, maka aku akan berbelas kasih. Kamu cukup mengganti blouse itu dengan uang satu juta saja.” Tambahnya dengan senyum tipis yang dipaksakan.
Fatimah hanya bisa menahan air mata sembari membereskan percah blouse yang gosong terlalap setrika. Ia menyesal dan meminta maaf atas kelalain yang dilakukannya. Namun, ungkapan sesal dan kata maaf bukanlah mantra yang bisa mengubah kapas menjadi blouse. Fatimah bersedia menggantinya.
Tak mudah mengobati gelombang yang menerjang tiba-tiba di hati Fatimah. Harga dirinya baru saja terbakar bersama blouse yang gosong made in Kapasan, belum terlintas sedikitpun jalan keluar yang didapatkannya. Dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu dalam sepuluh hari? Mebuat onde-onde pun dalam sehari , ia hanya mampu meproduksi seratus kue bulat itu. Untungnya pun tak seberapa, cukuplah untuk membuat kepulan makanan sehari-hari. Beragam pertanyaan mulai menggelayuti hati dan fikirannya yang kini terasa semakin kalut seperti benang kusut tanpa ujung.

Dalam perjalanan pulang menuju rumah, langit seolah merasakan kesedihan perempuan berhijab itu. Air mata yang sedari tadi ia tahan dengan sekuat tenaga, akhirnya merembes juga membasahi kedua pipinya. Dengan cekatan, ia menyapu tumpahan air mata itu dengan tangan kirinya, tangan kananya masih berada dalam stang kendali sepeda ontel yang dikayuhnya. Beberapa saat ia mendongak ke atas langit, lantas mempercepat kekuatan dengkul untuk terus mengayuh tanpa henti. Seolah berkejaran dengan mendung berwarna abu-abu yang siap menjatuhkan hujan.
“Hujan, adilkah Allah kepadaku?”keluh  Fatimah
“Maafkan aku jika akhirnya terlontar jua pertanyaan itu. Hanya saja rasanya terlalu berat beban yang aku tanggung ini. Aku ingin mati saja jika mengingat bunuh diri tak dimurkai Allah.”
Air mata Fatimah semakin pecah beriringan dengan turunnya air hujan. Ia tumpahkan semua keluh kesahnya di sepanjang jalan, dengan harapan sesampainya di rumah, anak-anak tidak akan tau tentang kesedihan yang kini menderanya. Seberat apapun duka yang tengah dialami oleh seorang ibu, pastilah ia tak ingin memperlihatkan duka itu kepada sang buah hatinya. Cukuplah ia dan Allah yang tau, cukuplah ia dengan segenap keyakinan akan kuasa dan pertolongan Sang Pencipta yang tidak pernah tidur maupun luput dari pengawasan-Nya.

Sementara itu di dalam rumahnya, Dimas dan adiknya memiliki firasat yang kurang mengenakkan. Tak biasanya ibu pulang terlampau lambat hingga menjelang jam tiga sore. Padahal biasanya sang ibu sudah berada di dalam rumah tatkala ia dan adiknya pulang dari sekolah.
“Mungkin ibu terjebak hujan dan berteduh mas.” Redam Nissa yang seoalah tau tentang kegelisahan sang kakak.
Dimas hanya diam tanpa suara, langkahnya sedari tadi sama. Berjalan bolak-balik dari dapur menuju ruang tamu, begitu sebaliknya ia lakukan berulang-ulang. Meskipun apa yang dilakukannya tak bisa menepis kekhawatiran akan keberadaan sang ibu saat ini.  Ditambah lagi dengan derasnya hujan yang semakin menjadi, diiringi bias kilat yang disusul dengan gemuruh guntur yang memekikkan telinga.
“Yaa Rabbana, sayangi dan lindungi ibu kami.”
“Aamiin.”
Bersambung,

Komentar