MUI Rancang Panduan Karya Sastra Islam

FGD Sastra Islam tengah berlangsung
(Foto: DiaryAida)

Karya sastra merupakan keindahan yang didalamnya memuat imajinasi luar biasa dari pengarangnya. Di Indonesia sendiri, tak sedikit penulis sastra yang telah melahirkan karya-karya terbaiknya. Kendati demikian, tak sedikit pula para pengarang harus mundur dan berhenti dalam menulis karya sastra. Semua ini dikarenakan munculnya fatwa garis keras yang menggemboskan mental penulis dengan dalil, bahwa menulis sastra atau fiksi adalah bid'ah.

Hal ini diungkapkan oleh Habiburrahman El-Shirazy (Kang Abik) dalam Fokus Grup Diskusi (FGD) yang diadakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Pembinaan Seni dan Budaya Islam (KPSBI). 

" Anak-anak muda yang ingin menulis sastra, sebagian besar banyak yang berhenti dan mundur karena mendapati fatwa dari kalangan-kalangan garis keras, bahwa menulis karya sastra dianggap sebagai bid'ah," kata Kang Abik. (20/05/2019)

Bahkan, ada yang mengatakan bahwa menulis karya sastra sama halnya menulis tentang kebohongan. Padahal kebohongan itu merupakan sesuatu yang dilarang oleh Baginda Rasulullah. Meski isinya tentang kebaikan, jika dikemas dalam kebohongan maka isinya juga tetap merupakan kebohongan, imbuh Kang Abik menjabarkan.

Menanggapi isu yang berkembang tersebut, Kang Abik mengharapkan tanggapan dari Komisi Fatwa MUI yang nantinya bisa mengeluarkan fatwa khusus terkait karya sastra.

FGD yang berlangsung di Kantor MUI Pusat, Jalan Proklamasi no. 51 , Jakarta Pusat ini dihadiri oleh  Ketua MUI, KH Shodiqun, Wakil Ketua MUI, H.Zainut Tauhid, Sekertaris Komisi Fatwa MUI, H.M Asrorun Ni'am Sholeh, Ketua Komisi Pembinaan Seni dan Budaya Islam, Habiburrahman El-Shirazy, Pakar Sastra, Ahmadun Yosi Herfanda, Pakar Sastra Arab UI, Bastian Zulyeno, Penulis Novel , Helvy Tiana Rosa, dan segenap pengurus Komisi Pembinaan Seni dan Budaya Islam.

Wakil Ketua MUI, H. Zainut Tauhid dalam sambutannya mengungkapkan, nilai-nilai universal dari karya sastra hendaknya bisa diterima oleh semua kalangan. Namun perlu sebuah panduan. Karena yang membedakan karya sastra adalah muatan yang terkandung didalamnya. Apakah sudah memuat nilai-nilai agama atau belum. Oleh karenanya, atas nama pimpinan Majelis Ulama Indonesia, Pak Zainut Tauhid menyampaikan apresiasi dan berharap semoga kegiatan FGD ini bisa menghasilkan sebuah panduan yang bermanfaat bagi para penulis sastra di Indonesia, agar bisa menghasilkan karya-karya sastra dengan nilai-nilai agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sementara itu, menurut Ketua MUI, KH Shodiqun, menjelaskan tentang keindahan sastra Islam yang membedakan dengan sastra lain adalah makna yang dikandungnya.

"Sastra itu harus membahagiakan dan indah. Karena Allah mencintai keindahan. Sebuah keindahan yang berakar dari akar. Akar yang dimaksudkan disini adalah Aqidah", jelas KH Shodiqun.

Menurutnya, karya sastra islami memuat kata-kata yang terbingkai dalam keindahan. Sehingga, setiap orang yang membaca karya sastra yang bernafas Islam, ia akan semakin tergugah hatinya untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Hal senada juga disampaikan oleh Sastrawan Indonesia, Ahmadun Yosi Herfanda, ia mengatakan sastra Islam yang utama adalah mengandung hal yang menyenangkan bagi seluruh pembacanya. Karena pada prinsipnya, Islam merupakan agama Rahmatan Lil Al-Amin. Sastra Islam harus menyuarakan nilai-nilai keislaman. Oleh karenanya, butuh kisi-kisi dari MUI sebagai panduan dalam penulisan isi sebuah karya sastra, baik itu puisi, cerpen, dan karya-karya sastra yang lainnya.

Berbeda dengan statement sebelum-sebelumnya, Pakar Sastra Arab UI, Bastian Zulyeno lebih menjabarkan tentang sejarah sastra dunia. Ia mengungkap pengertian sastra dari sumbernya. Karena pengenalan sastra maupun perbedaan karya sastra sudah dikenal manusia sejak lama. Di Indonesia sendiri, penulisan sastra memiliki ciri khas tersendiri sejak zaman nenek moyang terdahulu. Karya-karya sastra Indonesia lebih kepada ungkapan dan perumpamaan yang menggunakan alam sekitar. Seperti halnya kalimat "Jangan sampai lupa daratan", hal ini erat dengan suatu keadaan dimana nenek moyang kita yang sedang pergi berlayar, seringkali memakan waktu yang cukup lama untuk kembali ke daratan. Sehingga muncullah perumpamaan tersebut.

Sedangkan menurut Penulis Novel, Helvy Tiana Rosa, "Sastra Islam itu adalah karya sastra yang bersumber, dan ditulis oleh orang islam yang mengerti bahwa bersastra adalah bagian dari ibadah," jelas Helvy.

Sementara itu, Ketua Komisi Pembinaan Seni dan Budaya Islam, Kang Abik menjelaskan urgensi diadakannya FGD sore ini nantinya akan digunakan sebagai bahan bahasan dalam persiapan Rapat Kerja Nasional (Rakornas) MUI dalam pembuatan panduan bagi para penulis sastra di Indonesia. Oleh karena itu, Kang Abik meminta kepada Komisi Fatwa untuk dibuatkan fatwa khusus terkait karya fiksi/sastra. Karena karya sastra sangat erat dengan penuangan imajinasi dari penulisnya.

Terkait hukum berimajinasi dalam penulisan karya sastra, Sekertaris Komisi Fatwa MUI, HM Asrorun Ni'am mengungkapkan bahwa, "Imajinasi atau alam fikir, sesungguhnya sudah diatur didalam Islam. Selama imajinasi tersebut masih berbentuk imajinasi didalam fikiriran, maka belum ada ketetapan hukumnya. Tapi, jika imajinasi tersebut sudah menjelma dalam bentuk karya sastra, maka ada hukum-hukumnya, mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan," jelas HM Asrorun Ni'am.

Dalam pembuatan Fatwa, didalamnya memuat dimensi Aqidah, syariah, muamalah, dan dzikir. Jadi tak hanya keindahan saja, tapi juga mengandung tata nilai Islam didalamnya, imbuh HM. Asrorun Ni'am.

Komentar