Industri Film Religi, Butuh Panduan dari MUI

FGD sedang berlangsung di kantor
MUI, Jakarta Pusat
(Foto:DiaryAida)

Kisah atau jalan cerita dalam sebuah film seringkali berhasil mempengaruhi kehidupan nyata di masyarakat. Tak heran jika keberadaan film dianggap sebagai media yang paling ampuh dalam menyampaikan pesan dan informasi pada masyarakat. 

Minat masyarakat Indonesia dalam kancah perfilman pun semakin meningkat tiap tahunnya. Ada beberapa kategori dan genre film di Indonesia. Namun faktanya, film bergenre horor maupun kisah asmara remaja acap kali menghiasi layar lebar yang ada, bahkan tak jarang juga film dengan genre tersebut sampai booming dan mempengaruhi kehidupan masyarakat. Meski demikian, keberadaan film bertema religi pun masih memiliki daya pikat yang sangat kuat di masyarakat kita. Bahkan banyak sekali para remaja yang memutuskan berhijrah usai menonton film religi dengan muatan nilai-nilai keislaman yang membuat hati tentram dan damai.
Cover Film Ayat-ayat Cinta 2008
(Foto: google)

Hal ini merupakan efek positif yang sangat layak diapresiasi. Karena dengan adanya film religi, seseorang bisa berubah menjadi lebih baik, atau bahasa populernya adalah hijrah. Hal ini dirasakan langsung oleh adik kandung saya, Kiki namanya. Menurut saya, Kiki merupakan penikmat film horor sejati. Namun,  kemunculan film Ayat-ayat Cinta pada tahun 2008 mampu mengubahnya menjadi seorang muslimah berhijab. Film religi yang diadaptasi dari sebuah novel best seller karya Habiburrahman El Shirazy ini sangat mempengaruhi dirinya untuk menjadi lebih baik. Tentu saja, semua ini merupakan hidayah dari Allah SWT, jelasnya. 

"Hidayah Allah itu datangnya dari mana saja termasuk film, terkhusus film-film yang islami. Alhamdulillah usai menonton film Ayat-ayat Cinta pada 2008, saya semakin mantap mengenakan hijab " jelas Kiki.

Cerita dari Kiki merupakan contoh kecil dari besarnya pengaruh yang ditanamkan oleh film islami. Bisa dibayangkan, film Ayat-ayat Cinta yang mampu menyedot 3,5 juta penonton ini bisa melahirkan banyak Kiki baru di Indonesia. MasyaAllah. Inilah kekuatan film religi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat kita.

Untuk itu, Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia melalui Komisi Pembinaan Seni dan Budaya Islam menggelar Fokus Grup Diskusi (FGD) yang bertajuk "Film Sebagai Wahana Dakwah antara Bisnis dan Misi Ideal", pada Senin, 14 Mei 2019 di Gedung MUI Pusat, Jalan Proklamasi No.51, Menteng, Jakarta Pusat. 

FGD MUI : Film Sebagai Wahana Dakwah antara Bisnis dan Misi Ideal"

Fokus Grup Diskusi (FGD) siang itu menyoroti tentang fakta film religi yang masih banyak memuat adegan-adegan yang tidak sesuai dengan syariat Islam yang rentan menimbulkan kontroversi. Baik terkait interaksi antar pemeran dalam film yang bukan muhrim, maupun cara berpakaian yang menutupi aurat sesuai ketentuan Islam. Hal ini sangat penting dan merupakan PR besar bagi Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga independen yang mewadahi para ulama, zuama, dan cendekiawan Islam untuk membimbing, membina, dan mengayomi umat Islam di Indonesia.

 Ketua Komisi Pembinaan Seni dan Budaya Islam, Habiburrahman El Shirazy yang akrab disapa Kang Abik, menuturkan bahwa film religi banyak memuat masalah fiqh dalam pembuatannya. Untuk itu, sangat diperlukan sebuah panduan bagi para pekerja film sehingga bisa memproduksi film religi yang sesuai dengan koridor syariat Islam. 

Oleh karenanya, FGD ini digelar untuk selanjutnya dijadikan sebagai bahan bahasan pada Rakornas MUI  dan akan dijadikan sebagai referensi dalam pembuatan panduan bagi para produser film di Indonesia.

Sementara itu, Ketua MUI KH.Shodikun juga mengungkapkan bahwa film mempunyai dua sisi, yakni positif dan negatif. Keberadaan film dinilai sebagai media yang mampu mengubah kultur atau budaya. Film juga memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakat, sehingga fungsi utama media film adalah sebagai wahana dakwah yang mengajak penontonnya untuk menjadi lebih baik. Serta memuat nilai-nilai positif dan edukatif di masyarakat.

Sedangkan menurut Dani Syafani, salah satu produser senior Indonesia, ia menjelaskan bahwa Industri pembuatan film sesungguhnya memiliki dua bagian yakni pembuat film dan penonton film. Jadi, saat ditanya Kang Abik tentang film religi itu seperti apa? Pak Dani pun menjawabnya secara jelas yakni, "Pembuat film harus punya kesadaran untuk membuat film yang tidak mencelakakan umat. Sehingga penontonnya pun mampu menerima dan mencerna film tersebut dengan baik", jelas Pak Dani.
Suasana Bukber di kantor MUI
(Foto:DiaryAida)

FGD yang berlangsung kurang lebih 3 jam tersebut, juga dihadiri oleh para Insan Perfilman Indonesia (Sutradara, Produser, Artis Religi), dan Segenap Pengurus Komisi Pemberdayaan Seni dan Budaya Islam, serta Sahabat Blogger Halal Indonesia. Alhamdulillah, FGD berjalan lancar. Acara ditutup dengan buka puasa bersama dan dilanjutkan sholat magrib berjamaah.

Menu Takjil by Mbak A'an
(Foto:DiaryAida)

Komentar