Sudah bulat keputusanku untuk keluar dari sekolah ini. Meskipun masih berada di bangku kelas 1 SMA, aku tidaklah peduli. Lagipula aku bukanlah siswa yang berprestasi, bagi seorang pelajar setidaknya minimal 50% pelajaran yang singgah di otaknya, sangat berbeda dengan fakta yang aku alami, bahkan 5% saja tidak ada sama sekali diotakku terlintas pelajaran sekolah.
Seringkali aku merasa heran dengan beberapa teman-temanku
yang menganggap pelajaran di sekolah merupakan hal yang buruk dan membuatnya bosan. Padahal menurutku, mereka cukup datang ke sekolah, duduk menyimak
guru yang sedang mengajar dan mengerjakan tugas-tugas, itu saja sudah cukup, orang
tua mereka sudah lega dan bahagia melihat anaknya seperti itu.
Baiklah, sekarang diriku bukanlah seorang pelajar lagi,
katakanlah aku seorang pria yang berusia 16 tahun. Dalam fikiranku sekarang
hanyalah bagaimana caranya menghasilkan uang untuk bisa meringankan beban
Ibuku. Dan satu-satunya jalan yang saat ini harus dipilih adalah mendapatkan
sebuah pekerjaan.
Mengenai perihal sekolah dan cita-citaku diwaktu kecil yang
ingin sekali menjadi seorang guru, dengan terpaksa harus aku kubur dalam-dalam
bersama kerasnya jalan kehidupan ini.
Salah satu hal tersulit dalam pengambilan keputusan ini
adalah ketika aku menceritakanya kepada Ibu. Sudah pasti berita ini tidak mudah
diterima begitu saja oleh beliau. Rasa kecewa yang teramat dalam terlihat jelas
di raut wajahnya yang mulai terlihat memerah
karena amarah yang sudah memuncak. Bahkan tangannya yang mulia sempat mendarat
di wajahku. Aku faham betul akan perasaan Ibuku, namun aku harus tetap fokus
untuk mengedepankan rencanaku untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah guna
kelangsungan hidup keluarga kami.
“Mau jadi apa kamu kalo gak sekolah???, ibumu ini rela
kerja siang malam agar kamu dan adik-adikmu tetap bisa melanjutkan sekolah”.
Entah sudah berapa kali kata-kata itu keluar dari mulut
Ibuku. Aku hanya bisa diam sembari mengangkat
nasi yang sudah matang dari kukusan. Aku mengerti kekecewaan ibuku begitu
dalam. Tapi, aku juga tidak bisa melihatnya
bekerja sendiri siang malam demi membiayai sekolah kami.
Semenjak Bapak meninggal, Ibulah yang menjadi tulang
punggung keluarga dengan berjualan nasi ulam keliling kampung. Sedangkan
aku hanya bisa membantunya berjualan dikala sore hari, itu pun jika tidak ada
tambahan pelajaran di sekolah. Pada
kenyataannya aku sering absen membantu ibuku, dikarenakan banyaknya kegiatan
sekolah yang mengharuskanku pulang sore. Dan hal itu tidak akan terjadi lagi
karena sekarang aku bukannya siswa. Jadi waktuku akan lebih banyak untuk
membantu ibu mengumpulkan uang.
Sore itu langit terlihat sedikit mendung, dan seperti biasanya
aku mengayuh sepeda ontel kesayanganku dengan membonceng sebuah keranjang yang penuh berisi 50 bungkus nasi ulam.
Menuju sebuah tempat yang selalu ramai dengan lalu lalang manusia yang terlihat
sibuk dengan tujuan masing-masing. Kuarahkan sepedaku menyusuri jalan Mayor Oking menuju ke pintu
masuk sebuah bangunan yang berwarna putih bergaya kental khas Eropa. Bangunan yang anggun ini merupakan sebuah
stasiun dengan bentuk atap pelana segitiga, gerbangnya terlihat
melengkung, sedangkan bagian belakangnya berupa dinding plesteran dengan
ornamen garis. Stasiun Bogor.
Stasiun Bogor merupakan wilayahku untuk berjualan nasi ulam, dan sore itu
terlihat tidak seperti biasanya, tampak sebuah pohon besar tumbang dan menimpa jembatan penyeberangan. Di sekitar lokasi terlihat beberapa orang
sedang sibuk mengevakuasi pohon yang roboh tersebut. Dan kondisi lalu lintas di
sepanjang jalan depan stasiun sudah
pasti mengalami kemacetan yang parah. Beberapa petugas kepolisian terlihat
sibuk mengatur kemacetan lalu lintas. Kutepikan sepeda ontelku ke arah kiri menuju
tempat mangkal angkutan umum.
Kehadiranku sudah dinantikan oleh beberapa supir angkot yang
menjadi pelanggan setia nasi ulam buatan Ibuku.
Mang Darto salah satunya, seorang supir angkot yang
kira-kira berusia 50 tahunan, terlihat begitu lahap menikmati nasi ulamku
sembari bercerita tentang anaknya yang sebentar lagi lulus SMA. Kudengarkan
cerita mang Darto dengan perasaan yang mulai tak menentu. Cerita mang Darto
mampu membuatku menelan ludah meskipun
mulut ini tidak sedang memakan sesuatupun.
“Kamu sekarang sudah kelas berapa Rif ?’’
“Saya sudah engga sekolah Mang,’jawabku singkat,
“Lah kenapa?” tanya Mang Darto dengan wajah penasaran.
“Engga apa-apa
mang, oia Mang barangkali ada kerjaan buat saya?”tanyaku penuh harap. “Hemm
kerja apa ya Rif,…??? Sambil mengerutkan dahi, mang Darto sepertinya sedang
mengingat-ingat sesuatu.
“Kerja apa aja yang penting halal, Mang”.
“Sebenarnya tadi sebelum kamu datang, ada mandor yang
lagi cari orang buat benerin jembatan yang patah kena pohon di seberang itu
Rif,, apa kamu kuat kerja bangunan?
“Wah, mang Darto meremehkan saya ya, saya ini kan masih
muda mang, jadi fisik saya sangat kuat untuk angkat-angkat material bangunan.”
“Kalau kamu benar-benar mau kerja, tadi mandornya bilang,
kalau ada yang mau dengan kerjaan ini, besok pagi jam 7 langsung datang saja,
soalnya butuh cepat buat benerin jembatan itu Rif.”
“ Siap Mang, saya akan datang tepat waktu. Hatur nuhun ya
Mang” ucapku bersemangat dengan
senyum mengembang.
Keesokan harinya, aku pun sudah bersiap di lokasi yang
disebutkan mang Darto, terlihat ada beberapa
orang yang juga sudah siap. Salah seorang paruh baya menghampiriku.
“Apa kamu juga ikut kerja disini nak? Siapa namamu Jang?”
tanya orang tersebut dengan wajah yang seolah-olah tidak percaya melihatku
diantara para kuli lainnya yang tampak lebih berumur dibandingkan denganku.
“Nuhun Pak, saya Arif”
“Kamu ikut tukang ini ya Rif, dan lakukan apa yang dia
suruh”
“Baik Pak,” Jawabku singkat
Pekerjaanku dimulai dari memindahkan puing-puing bangunan yang masih berserakan, membongkar
material dari atas truk, dan berbagai macam aktifitas lainnya yang biasa aku lihat di sepanjang jalan atau di sekitaran
rumah manakala ada orang yang sedang membangun sebuah rumah atau sekedar
merenovasinya.
Dan kali ini aku tidak hanya melihat , namun melakukan dan
merasakan sendiri pekerjaan sebagai seorang kuli.
Tubuhku masih muda dan sangat kuat untuk sekedar mengangkat benda-benda
berat. Bagiku pekerjaan ini adalah sebuah olah raga yang sama halnya dengan gym
untuk membentuk otot-otot agar terlihat macho seperti para aktor film action Hollywood
Sore harinya sepulang menjadi kuli bangunan, agenda rutinku
tetaplah sama, menjual nasi ulam buatan ibuku di sekitar stasiun Kota Bogor.
Aku memang sengaja merahasiakan pekerjaan baruku ini untuk mencegah kekecewaan
Ibu.
Keesokan harinya, tulang-tulangku serasa enggan untuk diajak
kompromi beranjak dari tempat tidurku yang nyaman bak peraduan sang raja,
padahal faktanya hanya selembar kasur rajut dengan tebal tiga senti meter, alias memiliki nama beken kasur palembang. Rasa capek yang lebih dominan nyeri, mulai terasa disetiap persendianku.
Namun, aku harus tetap beranjak
memaksa tubuh ini merasakan dinginnya air pegunungan kota
Bogor untuk melukis hari yang indah. Hari
dimana selalu ada harapan untuk perubahan hidupku, setidaknya sekarang aku
sudah memiliki pekerjaan dan akan segera menghasilkan uang untuk melanjutkan
hidup.
Profesiku menjadi kuli bangunan mulai memasuki hari keempat.
Terlihat jelas jembatan yang sebelumnya tak berbentuk, kini sudah mulai terlihat
bentuknya seperti semula. Dalam hati ini terasa lega dan bahagia melihatnya,
namun kegelisahan perlahan-lahan mengusik perasaan ini. Setelah proyek ini usai,
apa yang akan aku lakukan?. Pertanyaan
itu mulai berkecamuk memenuhi fikiranku sembari melihat empat lembar uang berwarna biru pecahan lima puluh ribuan hasil kerjaku selama empat hari. Aku pun
tersenyum menatap lukisan Ir H Djuanda Kartawidjaja yang terpampang di setiap
lembaran uang tersebut. Sampai-sampai pandanganku terasa gelap dan tak bisa
merasakan tubuhku lagi.
**********
Samar-samar terdengar suara perempuan sedang menangis,
terasa sangat dekat ditelingaku. Aku sangat mengenal suara itu, Ibu. Itu suara
tangisan Ibuku, tapi mengapa dia menangis?.
Perlahan-lahan mulai kubuka mata ini meskipun sangat berat
untuk membukanya. Kepalaku pun terasa pusing bercampur mual, ditambah lagi pandangan mata ini seperti
goyang disetiap obyek yang kulihat. Ya
Allah, dimana ini? Apa yang terjadi denganku? Kucoba untuk mengingat-ingat,
tapi kepala ini yang awalnya hanya terasa pusing, kini berubah menjadi sakit
yang tak tertahankan.
“Syukurlah kamu sudah sadar Nak” suara ibu membuyarkan kebingunganku.
“Dimana ini Bu” ? tanyaku bingung sembari
mengernyitkan dahi menahan sakit dikepala yang mulai menyiksa.
“Kita dirumah sakit Nak, ada besi yang jatuh dan mengenai
pelipismu, mengapa kamu harus kerja menjadi kuli tanpa meminta izin ibu?”
isak perempuan paruh baya disampingku ini, membuatku teringat tentang bagaimana
aku melakukan pekerjaan ini tanpa sepengetahuan ibuku.
Aku hanya bisa terdiam memendam kesedihan dan penyesalan
karena telah membuat perempuan mulia ini banjir air mata.
Ketika tanganku meraba pelipis sebelah kanan, barulah aku mendapati mata kananku terbalut perban, tangis
ibu terdengar semakin pilu. Tanpa bertanya pun, aku sudah bisa menebaknya,
pasti ada hal buruk yang aku alami, entah apa itu sehingga ibuku semakin
terisak.
“Kata dokter, kamu akan kehilangan penglihatan Sayang,
tapi kamu jangan sedih yah, ada Ibu yang akan menjadi matamu”. Ibu langsung memelukku
dengan sesenggukan menahan tangis yang hampir meledak.
Mulutku mulai membisu, tak ada kata yang terlontar. Hanya
dialog hati yang mulai memenuhi fikiran. Sesuatu hal yang sama sekali tidak
terlintas dalam benakku, hal baru yang sukses mengguncang dan membuyarkan
kekuatanku. Tubuhku yang selama ini aku anggap kuat dan masih muda, saat ini
menjadi lemah tak berdaya, tak ada lagi kekuatan yang aku rasakan seperti sebelumnya.
Kupejamkan mata ini , untuk pertama kalinya aku meneteskan
air mata dalam ketidakberdayaan ini. Kurasakan begitu lembut dan hangatnya setiap
buliran air mata ini perlahan-lahan keluar dari sudut mata kiriku, tetapi tidak
dengan mata kananku karena aku tidak bisa merasakannya lagi.
********
Tak banyak hal yang bisa aku lakukan dirumah selain membantu
ibu menyiapkan nasi ulam untuk dijual. Sudah hampir dua minggu aku tidak keluar
rumah sama sekali, sedangkan ibu sendirian menjual nasi ulam di pagi dan sore
hari, tak tega rasanya melihat ibuku bekerja keras sendirian, sedangkan aku
hanyalah seorang lelaki muda yang tidak bisa melakukan apa-apa.
Ibu selalu mengatakan bahwa segala sesuatu didunia ini
bukanlah sebuah kebetulan. Semua yang telah
terjadi adalah takdir yang
merupakan rancangan terhebat Sang Maha Kuasa. Semua cobaan yang dialami setiap
manusia, diperuntukkan untuk membuat manusia menjadi lebih kuat. Tuhan menjanjikan keindahan dibalik cobaan
itu, dengan catatan bagi mereka yang tidak mengeluh dan tidak berputus asa.
Namun, kata-kata ibu sangatlah berbanding terbalik dengan
kedaanku saat ini. Begitu malu rasanya dengan perempuan hebat seperti ibuku
yang sedikitpun tidak pernah mengeluh, selalu berjuang untuk anak-anaknya
,padahal usianya sudah tidak muda lagi. Sedangkan diriku adalah laki-laki yang
masih muda , dengan tubuh kuat untuk
melakukan segala hal. Itulah yang selalu aku katakana sejak dulu, ketika
penglihatanku masih utuh.
Sebelum Bapak
meninggal dua tahun lalu, waktu itu aku masih duduk dibangku kelas 2 SMP, masih
ingat rasanya setiap hari diajak Bapak sholat berjamaah dan mengaji selepas magrib,
hidupku sangat ringan kala itu, karena aku selalu berdoa dalam keseharianku. Jauh berbeda dengan dua tahun belakangan ini,
aku merasa berjuang sendiri, dan sekarang aku merasakan kerapuhan yang
sesungguhnya, fisik yang selama ini aku anggap bisa menghasilkan sesuatu untuk
perubahan yang lebih baik, ternyata begitu mudahnya hancur hanya karena sedikit
kehilangan salah satu fungsinya.
Pagi ini, aku memulainya dengan air wudhu yang belakangan
ini hanya kulakukan setiap seminggu sekali yaitu saat kewajiban memanggil
sebagai seorang laki-laki muslim yang harus melaksanakan sholat Jum’at.
Hawa sejuk air wudhu menorehkan kedamaian di hatiku. Rasa
ini sudah sangat lama sekali tak menghampiri jiwaku. Kutumpahkan segala
kegundahan dan rintihan dukaku kepada Sang Pencipta. Dialah sang pemilik hati dan jiwa setiap makhluk
yang bernyawa. Lembutnya cinta yang begitu indah mulai bersemayam dihatiku, Laa
haula wala quwata illa billah.
******
Sudah satu bulan ini, aku menjadikan dapur sebagai kantor
dinasku. Dari sinilah aku mulai belajar dan pada akhirnya mahir memasak, menu
andalan kami adalah nasi ulam, yaitu hidangan nasi dengan serundeng kelapa yang
sudah dracik komplit bersama aneka bumbu rempah dan udang rebon pilihan.
Sebagai lauk pendampinya, aku menyertakan oseng tempe buncis dan telur dadar
iris lengkap dengan sambal bawang. Aku sudah hafal dengan semua racikan bumbu
yang diajarkan oleh ibuku, dan aku tidak akan merubah komposisinya.
Penjualan kami perlahan-lahan semakin meningkat , saat ini
kami mulai berani menerima pesanan dari tetangga, kupasang banner berukuran 100
x 50 cm dan kutempelkan di dinding depan rumah. Kedua adik perempuanku juga
sangat bersemangat membantu . Nasi ulam yang awalnya dibungkus menggunakan
kertas bungkus dilapisi dengan selembar daun pisang, sekarang ini sudah memiliki
variasi menu dengan lauk ayam dan daging, dengan kemasan kardus putih sesuai
pesanan pembeli, dan tentunya dengan harga yang telah disesuaikan. Namun, kami
tidak akan menghapus menu nasi ulam bungkus dengan harga 6.000 Rupiah. Karena
dari nasi bungkus inilah, orang mengenal nasi ulam keluarga kami.
Hari berganti hari, perlahan-lahan aku mulai mencoba keluar
rumah untuk pergi berbelanja di pasar.
Awalnya terasa sangat aneh ketika bertemu orang-orang yang
aku kenal mulai menyapaku, namun dengan
pandangan yang berbeda. Aku bisa merasakan perbedaan itu, pandangan dengan
penuh pertanyaan yang terpendam , aku tau mereka berusaha menahan penasaran
untuk bertanya tentang apa yang menimpaku.
Namun, aku berusaha untuk mencoba bersikap biasa meskipun
sulit. Kutanamkan dalam fikiranku sesuatu hal yang sederhana, “Biarkan saja
, mereka melihatku karena mereka punya mata dan akupun juga memiliki mata
meskipun hanya satu, aku mampu melihat seperti apa yang mereka lihat. Lama-lama
nanti juga akan terbiasa dengan sendirinya”, fikirku.
Beberapa bulan terakhir ini, ada sesuatu yang mengganjal dan
mengganggu tidur malamku. Hal yang sebelumnya jauh dan hampir hilang dalam
otakku. Permintaan ibu untuk menyuruhku melanjutkan sekolah.
Ibu berdalih bahwa hidupku tidak harus melulu untuk mengumpulkan uang. Dalam
hidup , manusia pasti membutuhkan uang, namun ada hal yang sebenarnya lebih
dibutuhkan manusia selain uang, yaitu ilmu.
“Harta itu akan berkurang
apabila dibelanjakan, tapi ilmu akan bertambah bila dibelanjakan/diamalkan”.(Ali
bin Abi Thalib).
Kondisi perekonomian keluarga memang sudah semakin
membaik, bisnis kuliner keluarga kami sudah mulai stabil bahkan selalu ada
peningkatan meskipun tidak drastis. Dan semua itu terasa kurang tanpa adanya
ilmu didalam hidupku.
Usiaku menginjak 18 tahun sekarang, dan wajahku mungkin
terlihat lebih tua dari remaja lain seusiaku. Setelah perang batin dan
perbedaan pendapat dengan ibuku mengenai bangku sekolah, akhirnya aku
memberanikan diri untuk mengais mimpi yang hampir 2 tahun ini berserakan entah
kemana perginya. Aku meminta ibu untuk mendaftarkanku di salah satu SMA Swasta
di kota Bogor, dan mengulang lagi untuk masuk sebagai siswa kelas 2 SMA.
Keputusanku kali ini mendapat sambutan hangat penuh cinta, terlihat
jelas raut wajah bahagia dari ibuku, pelukan yang terasa penuh harapan dari ibu
membuatku semakin yakin bahwa di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Bahkan
untuk seorang kuli sepertiku masih bisa mengais mimpi yang kelak ingin menjadi
seorang guru. Aku teringat sebuah pesan indah dari sebuah buku milik almarhum
Bapak yang pernah kubaca, yaitu karya dari seorang Filsuf Persia bernama Abu HAmid AL-Ghazali, “Ilmu
itu kehidupan hati dari kebutaan, sinar penglihatan dari kedzaliman, dan tenaga
badan dari kelemahan”.
Dan pada akhirnya aku mulai
faham, bahwa sejatinya tak ada batasan usia maupun keterbatasan fisik dalam
menuntut ilmu. Karena ilmu bagaikan cahaya yang mampu menembus kegelapan.
Komentar
Posting Komentar