Pada Akhirnya, Aku Memaafkan Maduku



Banyak yang berpendapat bahwa pernikahanku dulu sangatlah terburu-buru. Tak sedikit juga gossip beredar di tetangga bahwa aku telah hamil terlebih dahulu sehingga pernikahannya dipercepat. Aku mengenal calon suamiku hanya dalam waktu satu bulan, dua minggu kemudian dia melamarku.
 Kami berdua sepakat untuk melangsungkan pernikahan dua minggu setelah acara lamaran, dan tentunya dengan izin dan restu dari kedua orang tua kami. Motivasi terbesar kami untuk mempercepat pernikahan karena kami tidak ingin memberi ruang kepada setan untuk menggoda dan menjerumuskan kami kedalam zina.

Pernikahan kami berlangsung begitu sederhana dan tidak mengundang banyak orang, hanya tetangga,  kerabat dekat dan keluarga saja yang hadir.
Selang beberapa bulan setelah pernikahan, kami berdua memutuskan untuk mengontrak sebuah rumah senderhana meskipun dari kedua keluarga kami banyak yang menentang keputusan ini. Aku sangat bersyukur memiliki suami yang bertanggung jawab dan berpendirian teguh.
Rumah tangga kami sangat menyenangkan sampai-sampai kami tak sadar bahwa di tahun kelima pernikahan belum juga mendapatkan keturunan.

Awalnya kami tidak begitu menganggap penting masalah kehadiran seorang anak, karena kami sangat yakin bahwa semua itu merupakan rezeki dan takdir yang sudah digariskan kepada kami. Jika memang belum diberikan karunia ini mau bagaimana lagi, toh kami juga selalu berusaha untuk melakukan sunnah Rasulullah saw.
Sebuah pemikiran sderhana yang sangat membantu untuk menguatkan rumah tangga kami yang seringkali mendapatkan tekanan dari luar, bahkan tekanan terberat yang kami rasakan datangnya dari kedua orang tua kami.

Setiap kali kami berkunjung selalu saja pembahasan yang populer adalah tentang keturunan yang tak kunjung hadir di kehidupan rumah tangga kami. Banyak nasehat yang sifatnya malah menyudutkan dan menekan kami.
Namun, lagi-lagi kami saling menguatkan dan saling percaya satu sama lain.
Sampai suatu hari datanglah mertuaku berkunjung dan mengatakan sebuah permintaan yang sangat sulit kujawab.
Sebuah permintaan keikhlasanku untuk dimadu dengan seorang perempuan pilihan dari mertuaku. Dengan bermacam dalil agama dan keindnahan surga yang kelak akan aku dapatkan jika ikhlas menerima keputusan di poligami, mertuaku begitu bersemangat menjelaskannya kepadaku.

Waktu itu aku hanya duduk terpaku tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun. Fikiranku berkecamuk tak karuan, berjuta pertanyaan terlontar di dalam hatiku yang sudah pasti tak memperoleh jawaban apapun karena pertanyaan itu tak bisa aku keluarkan. Satu hal yang sangat menyakitkan lagi bahwa mertuaku berkata bahwa sebelum berbicara denganku mereka sudah berdiskusi dengan suamiku terlebih dahulu dan sudah melakukan ta’aruf.  

Air mata yang awalnya aku tahan akhirnya pecah juga tatkala  suamiku datang, telihat jelas raut wajahnya yang terkejut melihat kedua orang tuanya sedang berada di ruang tamu bersamaku. Tangannya yang dingin mulai menggenggam tanganku yang terasa lemah tanpa daya. Perlahan kulepaskan genggamannya. Ingin rasanya aku berteriak dan berlari dari situasi ini tetapi tubuh ini tiada daya untuk melakukannya, bahkan untuk berdiri saja seakan-akan tak mampu lagi.
Lirih kuucapkan permintaanku dengan hati hancur dan berlinangan air mata. “Aku hanya ingin seperti Fatimah Az-zahra, putri Rasulullah saw yang selama hidupnya tidak pernah dimadu oleh Ali bin Abi Thalib suaminya”. Dengan spontan Suamiku mencium tanganku sambil menangis meminta maaf.
Namun, sebuah ucapan yang sangat membuatku terkejut keluar dari mulut sumiku sendiri, dengan suara seraknya dia mengatakan bahwa kedua orang tuanya menginginkan seorang cucu.
“Sayang, tolong jangan samakan dirimu dengan Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah saw memiliki Hasan dan Husen dalam pernikahannya bersama Ali bin Abi Thalib. Sedangkan kita, sudah berusaha selama lima tahun ini dan belum juga diberikan anugerah seorang anak dalam rumah tangga kita”. Sebuah penjelasan yang benar-benar menyakitkan bagiku karena ucapan itu dikatakan oleh laki-laki yang sangat aku cintai.

Sungguh aku tidak berniat untuk menyamakan diriku yang berlumur dosa dengan putri Rasulullah saw yang sempurna. Aku hanya ingin seperti Putri Rasulullah yang selama hidupnya dicintai dan tidak dimadu oleh Ali bin Abi Thalib suaminya. Apakah itu merupakan sebuah keinginan yang salah dan tak layak aku ungkapkan?

Aku merasa menjadi wanita yang sangat lemah karena terjerat oleh cinta yang begitu dalam kepada suamiku. Tak ada sedikitpun keinginan untuk bercerai  karena aku sangat mencintainya.
Dengan perasaan berat hati, akhirnya aku berusaha untuk mengikhlaskan suamiku untuk menikah lagi, namun sesungguhnya semua itu bukanlah sebuah keikhlasan tetapi sebuah pengorbanan untuk berbagi dengan perempuan lain demi mempertahankan perasaan cinta ini yang begitu dalam.
Meskipun setelah pernikahan kedua, suamiku jarang memiliki waktu lebih denganku, aku masih berusaha untuk bersyukur karena masih bisa melihat dan bersamanya lagi tanpa harus kehilangannya.

Bicara soal waktu, memang begitu berat dan sulit kulalui apalagi menghadapi keluargaku sendiri yang tidak rela melihat anak semata wayangnya dimadu. Kerap kali kedua orang tuaku mempengaruhiku untuk segera bercerai dengan suamiku. Namun, besarnya cintaku tidak pernah terlintas sedikitpun untuk meninggalkan suamiku, meskipun dia pernah menyakiti dan mengecewakanku, tetap saja dia adalah imam yang baik.
Mungkin, saat ini memang dia sulit untuk membagi waktu denganku karena maduku saat ini sedang hamil muda, tapi aku sangat yakin bahwa suamiku tetaplah mencintai dan memikirkanku setiap saat.

Dua hari dalam satu minggu sudah lebih dari cukup untuk bersamanya, benar-benar sebuah waktu yang berkwalitas bagi kami.  Dalam dua tahun ini perlahan-lahan aku mulai untuk memaafkan masalalu dan puncaknya adalah bulan Ramadhan tahun ini. Tepatnya tanggal 1 Mei 2018 dengan mengucap syukur Alhamdulillah, aku positif hamil. Sebuah keajaiban yang mengubah segalanya, menghapus duka dan kekecewaan dimasa lalu.
*********
*Sebuah kiriman dari Sahabat DiaryAida*

Komentar

  1. Massyaallah aku nangis bacanya. Knp begitu kuat hati seorang perempuan.. aku sendiri gak kuat.. bahkan bercerai meskipun udh py anak. Ya allah

    BalasHapus

Posting Komentar