![]() |
dokpri |
“Mbak, Ibu sakit, harus diopname.
Mbak, enggak pulang?” tutur Adik saya di ujung telepon, pada suatu hari di
2017. Kaget dan sedih mendengarnya. Padahal, sebelum kabar tentang sakit itu
datang, saya sempat berbincang dengan Ibu, juga melalui sambungan telepon.
Dalam perbincangan di telepon, ibu sempat bercerita, bahwa saat itu sedang
menggigil dan demam. Pikir saya waktu
itu hanya flu biasa. Namun, siapa sangka bahwa deman yang dialami beliau
merupakan efek dari luka yang tidak pernah dirasakannya.
Perasaan sedih bercampur khawatir
mendera beriring dengan air mata yang tanpa sadar mulai basah di pelupuk mata. Sedih,
karena tidak bisa langsung berlari, menjenguk, dan merawat Ibu yang sakit. Adalah
jarak yang membuat keinginan itu tak mungkin terwujud, dalam waktu singkat.
Saya di ibu kota. Sedangkan Ibu di Jombang, Jawa Timur. Butuh 11-13 jam
perjalanan via kereta api. Sekira 3 – 5 jam jika ditempuh dengan menumpang
pesawat terbang.
Di sisi lain, saya bukanlah
perempuang single. Sudah bersuami. Adalah kewajiban saya untuk meminta izin
kepada suami untuk menengok orangtua. Saya menghampiri pria yang telah beberapa
tahun ini mendampingiku dengan berlinang air mata, dan meminta izin kepadanya
untuk merawat Ibu yang kini terbaring di
rumah sakit. Dilematis. Di satu sisi saya mengkhawatirkan kondisi Ibu, di sisi
lain, saya juga mengkhawatirkan suami. Bagaimana jika nanti aku tinggal
sebentar untuk pulang? Siapa yang memasak untuknya. Siapa yang membangunkannya
untuk kerja? Siapa yang akan ia ajak berbincang, dan bercerita selama saya menemani
Ibu? Berat memang. Tapi, tetap harus ada keputusan.
Beruntung sekali saya memiliki
suami yang pengertian, yang pada akhirnya mengizinkan saya untuk pulang merawat
ibu di Jombang. Saat ini saya dan suami tinggal di Jakarta. Izin suami terhadap
istri adalah hal penting bagi saya. Suatu kebahagiaan yang tak tergantikan.
Karena itu akan memudahkan langkah kaki saya. Meski jarak untuk sementara waktu
jadi dinding pemisah kebersamaan kami.
Setelah perjalanan beberapa jam,
akhirnya saya sampai di rumah sakit tempat ibu saya sedang dirawat. Badannya
terlihat sangat lemah dengan perban putih yang membalut luka di kakinya. Ibu saya
menderita penyakit diabetes. Waktu itu kadar gulanya mencapai angka 500 dan
disertai infeksi luka di kakinya.
Ketakukan mulai memenuhi hati
seluruh keluarga saya tak terkecuali ibu saya. Apalagi ketika dokter memvonis
untuk memotong jari kelingking yang terdapat luka ganggren yang cukup parah.
Dikarenakan kepanikan dan ketakutan yang
besar, akhirnya tensi darah ibu saya naik mencapai 180 diiringi kadar
gula yang belum kunjung turun.
Dalam ketakutan ini, saya hanya
bisa berdoa di dalam hati sembari terus memberikan dukungan kepada Ibu saya.
Berbagai macam informasi tentang obat herbal dan pengobatan alternatif mulai
saya kumpulkan untuk mewujudkan keinginan ibu agar tidak sampai menjalani
amputasi.
Ada binar harapan di mata Ibu
saya ketika mendengar cerita-cerita yang aku sampaikan tentang kisah-kisah
pasien penderita diabetes dengan riwayat luka yang sembuh tanpa harus
diamputasi. Semangat mulai terbangun di hati ibu saya, meskipun luka yang ada
di jari kelingkingnya belum menunjukkan proses penyembuhan. Selang lima hari di
rumah sakit, akhirnya ibu diizinkan untuk pulang karena dari pihak keluarga
tidak menyetujui proses amputasi.
Perawatan pun dilanjutkan di rumah.
Saya membeli beberapa obat pembersih luka dan salep herbal yang khusus untuk
luka penderita diabetes. Dengan sabar, tiap hari saya mulai membersihkan dan
mengoleskan salep herbal di luka beliau secara rutin tiga kali sehari. Di saat
bersamaan Ibu juga mengonsumsi obat dokter, yakni berupa obat penurun kadar
gula darah dan antibiotik untuk lukanya.
Meskipun saya terlihat lega
dengan kondisi ibu yang semakin membaik, dalam hati kecil ini mulai resah
memikirkan tentang suami saya yang jauh di sana. Meskipun setiap harinya kami
selalu berkomunikasi melalui telepon. Tak pernah lupa suami saya selalu
mengingatkan saya untuk tetap menjaga diri dan memerhatikan kesehatan pribadi
juga. Karena yang dikawatirkannya sekarang ada dua wanita yang jauh di sana,
yaitu istri dan ibu mertua yang sudah seperti ibu kandungnya sendiri.
Semakin hari, luka yang diderita
ibu saya semakin membaik. Dan tepat perawatan satu bulan, akhirnya kami menemui
dokter spesialis bedah untuk memeriksakan luka pada kaki Ibu saya.
Alhamdulillah! Ibu saya dinyatakan sembuh dan tidak harus melakukan amputasi.
Kami pun saling pandang dengan senyum yang melegakan. Syukur kepada-Mu Yaa Rab.
Satu minggu kemudian akhirnya
saya pun dijemput suami untuk kembali ke Jakarta. Terima kasih Tuhan, Engkau
telah menjaga dan merawat orang-orang yang aku kasihi.
Komentar
Posting Komentar