Keindahan Pancasila dalam Film Lima dan Kehidupan Nyata




Pria muda itu dengan cekatan menggendong anjing kecil jenis pudel, setiap kali aku melintas di depan gerbang pintu yang menjadi satu-satunya pintu masuk dan keluar penghuni kos-kosan di tempatku, di kawasan Jakarta Timur. Ia lantas mempersilakanku lewat sembari menggendong anjingnya. Dan itu terjadi  tidak hanya sekali.

Sebenarnya, Mimi, begitu anjing itu biasa dipanggil oleh majikannya, sangat lucu, bulunya lebat mengembang, dan menggemaskan. Bukannya aku tak suka dengan anjing. Rasa ingin menggendong, dan membelainya kerap kali muncul tiap kali ia akan menghampiri dan menyapaku. Masalahnya, sebagai seorang muslim, jika terkena liur anjing, maka kami diwajibkan mencuci dengan air sebanyak tujuh kali yang salah satunya dicampur dengan tanah tanah. Nah, di Jakarta ini mencari tanah kadang sulit, semua lahan kebanyakan tertutup semen, atau diaspal. Jadi, aku memilih menghindari wajah polos Mimi yang menggemaskan. Aku tahu Mimi juga makhluk Tuhan, yang juga butuh kasih sayang.

Syukurlah, tetanggaku yang berbeda keyakinan denganku sedikit banyak paham tentang bagaimana seorang muslim ketika berinteraksi dengan anjing. Sikap, atau gerak yang ditunjukkan tetanggaku tersebut, salah satu wujud nyata toleransi beragama, yang selama ini didengung-dengungkan banyak pihak. Terutama ketika aksi intoleransi yang berpotensi memecah belah kerukunan bangsa ini beberapa kali muncul. Bentuk saling hormat-menghormati ini harus tetap dijaga, dilestarikan, dan ditularkan kepada generasi penerus. Berbeda bukan berarti tak bisa bersama, apalagi mencela.

Kisah toleransi di atas, sedikit banyak mengingatkanku pada masa-masa ketika duduk di bangku sekolah dasar. Salah satu pelajaran yang hingga kini masih lekang di ingatanku adalah: Pendidikan Moral Pancasila atau PMP.

Bagi aku pribadi, pelajaran PMP adalah pelajaran yang menyenangkan. Di dalamnya diajarkan prinsip-prinsip dasar tentang kehidupan saling menghormati dalam bersosialisasi di masyarakat.

Dewasa ini baru aku tersadar bahwa pelajaran PMP sangatlah penting untuk membangun moral kemajemukan bangsa. Dari sinilah awal pembentukan karakter masyarakat Indonesia yang seutuhnya. Prinsip-prinsip dasar dalam pelajaran PMP sesungguhnya adalah isi dari Pancasila yang merupakan falsafah dan ideologi bangsa Indonesia. 



Foto doc: Instagram 
Lima sila yang termuat di dalam Pancasila memiliki makna dan konsep luar biasa yang telah digagas oleh para pendiri bangsa ini. Tiap silanya memiliki makna yang dalam, luas dan relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk. 

PANCASILA

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

Mengandung makna bahwa segenap bangsa Indonesia meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa, pencipta alam semesta. Dalam hal ini bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki pengakuan dan kebebasan bagi warganya untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing tanpa adanya paksaan serta tidak ada diskriminatif antar umat beragama.

2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap

Sila kedua ini bermakna bahwa setiap warga negara memiliki persamaan terhadap hak maupun kewajiban sebagai makhluk sosial sesuai dengan kodratnya. Sehingga diharapkan tercipta sikap saling menghargai di antara sesama.
3. Persatuan Indonesia

Makna dari sila ketiga adalam menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air melalui persatuan dan kesatuan yang terbentuk dalam kehidupan bermasyarakat.
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan.

Makna yang terkandung dalam sila keempat merupakan wujud dari sikap bermusyawarah dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan bersama.
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Dalam sila kelima ini menyatakan, bahwa setiap warga negara Indonesia hendaknya menjunjung tinggi keadilan dan menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban yang dimiliki oleh setiap manusia.

Kelima sila di atas dirumuskan dengan tidak mudah, dan telah melalui proses pemikiran dan diskusi yang panjang. Pancasila juga diraih dengan penuh perjuangan dan pengorbanan.

Presiden Soekarno pernah menyatakan, bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hasil pemberian, melainkan diperebutkan dengan keringat, darah dan air mata. Dan Pancasila merupakan senjata sakti. Karena semangat pejuang kemerdekaan tertuang dalam lima sila yang menjadi ideologi bangsa. Sehingga penting sekali untuk mendalami makna yang terkandung di dalamnya untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari kita. 

Karena kita tak lagi berjuang, maka kewajiban kita meneruskan, dan mempertahankan apa yang telah diperjuangkan para pahlawan bangsa.

Saat ini, aku menyadari pentingnya Pendidikan Moral Pancasila yang sudah aku peroleh sejak SD dalam kehidupan bermasyarakat. Karena inti dari pelajaran tersebut adalah pengamalan Pancasila secara nyata, yang merupakan dasar negara Indonesia. 

Jika boleh sedikit berkomentar tentang generasi muda sekarang ini, seakan-akan nilai dari Pancasila terasa mulai luntur. Saya tidak mau terlalu dalam membahas tentang lunturnya jiwa Pancasila pada generasi muda kita, karena yang dibutuhkan mereka saat ini adalah kasih sayang dan kepedulian kita untuk merangkul mereka dengan menghadirkan hangatnya cinta dari Pancasila. Bukan cemoohan yang akan membuat mereka semakin menjauh dari ideologi bangsanya sendiri.

Namun, tantangannya tentu tidak mudah. Apalagi di zaman yang serba instan. Perlu kejelian, dan kreativitas untuk menggandeng generasi muda agar mau memahami, mempelajari, dan mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila.

Kreativitas itu salah satunya bisa dalam bentuk karya film, yang mengajarkan nilai-nilai Pancasila. Seperti yang ada di film Lima, yang belum lama ini diputar di bioskop-bioskop.

Lima adalah sebuah film yang kaya akan pesan moral. Film ini disajikan dalam  kisah sederhana sebuah keluarga. Film Lima disuguhkan dengan adaptasi dasar-dasar ideologi bangsa, yang diputar bersamaan dengan peringatan hari lahirnya Pancasila yang jatuh pada 1 Juni 2018. Semua aspek  di dalam film ini memuat lima hal. Mulai dari lima orang sutradara dan lima jalan cerita yang berbeda.


Film yang digarap oleh Lola Amaria, Shalahuddin Siregar, Tika Pramesti, Adriyanto Dewo, dan Harvan Agustriansyah ini menceritakan tentang hal-hal dasar dalam kehidupan sehari-hari kita seperti Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah dan Keadilan. Film ini disuguhkan dalam genre drama keluarga yang ringan dan alur ceritanya sangat mudah untuk dicerna dan dipahami.

Foto doc: Instagram Lola amaria

 Konflik dalam film Lima dimulai dari meninggalnya ibu mereka, Maryam (diperankan oleh Tri Yudiman) yang pada saat pemakamannya memicu sebuah perdebatan diantara ketiga anaknya. 

Maryam meninggal dalam kondisi sebagai muslim, meskipun sebelumnya pernah memeluk agama lain. Sementara ketiga anaknya memiliki agama yang berbeda, hanya Fara seorang yang memiliki agama sama dengan sang ibu. 

Sebagai anak tertua, Fara meyakinkan adik-adiknya Aryo dan Adi bahwa ibu mereka akan dimakamkan secara Islam, berbeda dengan mendiang ayah mereka yang menggunakan tata cara kristiani.

Di akhir prosesi pemakaman setelah pembacaan doa, tibalah bagi Fara mempersilahkan keluarga dari mendiang ayahnya untuk ikut serta berdoa sesuai agama dan keyakinan mereka sebagai wujud penghormatan kepada almarhum ibunya. 



Foto doc: Instagram Lola Amaria
(Sila Pertama: Ketuhanan YME)

Dalam hal ini terlihat jelas sila pertama dalam Pancasila tergambar dengan adanya toleransi beragama tanpa adanya paksaan dari orang tua, serta sikap saling menghormati antar pemeluk agama yang berbeda.

Usai meninggalnya Maryam, ketiga anaknya diharuskan menghadapi berbagai macam persoalan. Seperti halnya si bungsu, Adi (diperankan oleh Baskara Mahendra) yang kerap kali dibully oleh temannya, dan suatu ketika menyaksikan sebuah peristiwa yang tidak berperikemanusian. Meskipun masih diliputi perasaan trauma, Adi merasa tergugah hatinya untuk memberikan kesaksian kepada pihak kepolisian tentang peristiwa yang dilihatnya itu atas dasar kemanusian yang termaktub di dalam sila kedua.


Foto doc: Instagram Lola Amaria
(Adegan Pengamalan Sila Kedua)

Sementara Fara (diperankan oleh Prisia Nasution), juga menghadapi masalah di pekerjaannya sebagai seorang Pelatih Renang. Fara diminta untuk memilih salah satu atlet untuk diikutsertakan dalam Asian Games. Atasan Fara menginginkan Andre, atlet yang berkulit sawo matang alias pribumi, sedangkan atlet yang disebutkan oleh atasan Fara tersebut memiliki kemampuan yang masih di bawah rata-rata jika dibandingkan dengan pilihan Fara yang sudah mumpuni namun berkulit kuning dan bermata sipit bernama Kevin. 


Foto Doc: Instagram Lola Amaria
(Sila Ketiga: Persatuan Indonesia)

Perdebatan antara Fara dan bosnya pun terjadi, dan akhirnya Fara memutuskan untuk mengundurkan diri karena sudah tidak sesuai lagi dengan idealismenya. Ia menolak diskriminasi ras. Namun, masalah dapat terselesaikan dengan pengamalan sila ketiga dan keempat dengan adanya musyawarah yang dilakukan oleh kedua anak didik Fara dengan ketua komite pelatnas demi terwujudnya Persatuan Indonesia. Sehingga Fara kembali lagi melatih atlet renang yang akan dikirim ke Asian Games.


(Sila Keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat,
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan)

 Sedangkan Aryo (diperankan oleh Yoga Pratama) anak kedua dan lelaki tertua di keluarga, juga dihadapkan dengan sebuah penghianatan dari sahabatnya sendiri yang membawanya dalam sebuah kondisi kebangkrutan dalam bisnisnya. Aryo juga dihadapkan dalam situasi persoalan pembagian warisan yang ditinggalkan oleh ibu mereka yang mengharuskan dia menjadi pemimpin dalam menenangkan saudaranya untuk mencapai sebuah kesepakatan yang bijaksana. Sikap Aryo ini mewakili Pancasila sila keempat.


Foto Doc: Instagram Lola Amaria

Masalah tidak berhenti di ketiga anak Maryam,  ada juga Ijah (diperankan oleh Dewi Pakis) seorang asisten rumah tangga yang juga memiliki masalahnya sendiri. Ijah memutuskan pulang kampung untuk mengurus anak-anaknya. Dan alangkah kagetnya ketika dia mendapati kedua anaknya terjerat sebuah kasus pencurian. 


Foto: Adegan permasalah dari kedua anak Ijah yang
nantinya akan diselesaikan dengan perwujudan Sila Kelima, Keadilan Sosial
bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Lantas, bagaimanakah perjuangan Ijah dalam menanti sebuah keadilan yang kerap kali tidak pernah berpihak pada orang kecil seperti dia? Di sinilah sila kelima yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dibutuhkan untuk memberi keadilan, tidak hanya bagi Ijah dan anaknya, tapi seluruh warga negara.

Foto: Keseruan Nobar Sahabat Blogger & ShopBack

Film Lima sangat layak ditonton, kalian akan merasakan kedekatan dengan beragam konflik yang disuguhkan dengan cara yang natural dan apik. Menonton film Lima akan lebih seru jika bersama-sama dengan teman loh. Meskipun menonton sendiri juga tak kalah asik. Terutama bagi kamu yang ingin merenungkan kondisi bangsa kita saat ini, yang mulai meninggalkan pengamalan Pancasila. Karena pada dasarnya, Pancasila itu tidak hanya untuk dihapalkan. Namun untuk diamalkan, dimulai dari hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari di lingkup keluarga kita masing-masing.

Dan saya merasa beruntung sekali karena bisa menonton film Lima bersama ShopBack dan Komunitas Sahabat Blogger. Sebuah komunitas yang beranggotakan para blogger dari beragam suku, ras, dan agama yang berbeda. Namun, kami tetap saling menghormati dan saling membantu. Karena kami bernaung dalam bendera dan negara yang sama yaitu: Indonesia.


Komentar

  1. Menonton Lima film akan lebih menyenangkan jika Anda bersama teman-teman Anda ...sepakat...sekaligus buka ruang untuk dijadikan bahan diskusi ya ...

    BalasHapus

Posting Komentar